Viona Aslan
Oleh : Aleyda Viona Bilqis XI
IBB
Tok.. tok.. tok..
“Tuan putri sudah
bangun?”
“Tunggu!”
Aku Viona.. Putri
raja Edward dan ratu Arwend. 20 tahun aku tinggal di dinding istana ini.
Lengdale.. Istana bercat perak, luas nan megah.
“Tuan putri...
Baginda raja ingin bertemu denganmu diteras istana. Beliau memintaku untuk
memanggil anda”
Ku tarik daun pintu.
Berdiri Bibi Mala, salah seorang dayang istana pergi mengetok pintu kamarku.
"Baiklah, bibi.
Aku akan menemui ayahanda"
"baik"
Bukannya beranjak
segera turun untuk mencari ayahanda, aku kembali ke kamar untuk merapikan
rambut ku yang berantakan. Mahkota dengan berlian merah muda dari ibunda juga
tak lupa aku pakai. Ibunda tau, merah muda adalah favoritku. Hadiah ulang
tahunku kemarin.
Turun. Menyusuri
penjuru istana, sembari gaunku menyapu latar.
"Ayahanda?"
"Kemarilah
putriku. Pagi ini udaranya sejuk. Lihat! Awan sedang mendung"
Aku menyibak gaun.
Duduk di sofa teras Lengdale dengan secangkir teh hijau diatas meja.
"Pengawal!” Ayah
tiba tiba berteriak.
"Sedia
tuan"
"Pergilah ke
dapur. Bawakan secangkir lagi teh hijau untuk putriku"
"Tidak paman..
Tidak perlu. Ini masih pagi dan lidahku sedang tidak ingin mengecap
sesuatu" memotong, segera aku mencegah perintah ayah.
Ayahanda mengangguk
pelan, meminta paman pengawal untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Ayah... Sejak
kecil ayahanda dan ibunda tidak mengizinkanku untuk pergi ke luar istana.
Padahal, di dekat hutan sana banyak sekali bunga-bunga cantik. Mengapa aku
tidak boleh pergi kesana?"
Bukan apa-apa. Ingin
sekali aku bermain keluar istana. Sepakat hanya untuk melihat hewan hewan
diluar sana, atau hanya sekedar memetik bunga bunga merah muda.
"Tidak,
putriku... Tempat itu sedikit jauh dari istana. Lagipula itu dekat hutan,
ayahanda hanya khawatir sesuatu yang
buruk terjadi padamu.”
"Jikalau memang
itu yang ayah risaukan. Paman pengawal akan mengantarku dengan kuda istana. Ia
akan menjagaku, lalu kami pulang ke Langdale"
"Viona Edward..
Ayah melarangmu, demi dirimu sendiri. Kau putri satu-satunya."
Nada bicara ayah kini
meninggi.
"baik ayah”
Dengan terpaksa aku
mengiyakan saja pernyataan ayahanda.
Hari sudah siang.
Tidak lagi mendung. Merasa lapar. Selepas berbincang dengan ayah. Aku kembali
ke kamar. Menyingkap gorden dan membuka jendela. Binar cahaya matahari
menerobos pepohonan,lalu masuk menyinari kamarku.
Kepalaku mendongak
dari balik jendela. Menatap lamat lamat pohon-pohon pinus yang rindang.
“Andai saja.. Aku
bisa keluar, itu akan menyenangkan. Daripada diam duduk di istana ini. Jenuh,
bosan, tidak ada yang bisa aku lakukan selain berdandan dan melakukan itu-itu
bersama para dayang istana”
Aku menggeret kursi
meja rias, masih memandangi pinus-pinus hutan.
Matahari hampir
melungsur. Seluruh penjuru istana bercahaya. Seperti biasa, sekarang waktunya
makan malam.
Tidak perlu paman pengawal,
bibi Mala, atau bahkan ibunda datang memanggilku. Langsung aku bergabung
bersama mereka.
Buah-buahan, daging,
minuman dingin, dan kesukaanku. Susu rasa vanilla.
Usai sudah makan
malam. Kembali aku merebahkan diri di kamar. Menatap langit-langit istana yang
berkilau.
Tap tap tap..
Derap langkah
terdengar dari balik pintu. Lalu terbuka. Ibunda masuk. Memandangku sambil
tersimpul. Ibunda menutup jendela kamarku yang masih terbuka. Hendak menyibak
gorden juga, tapi ia meliriku
“Rambutmu terlihat
kusut. Biarkan ibunda menyisirnya”
Aku beranjak dari
dipan. Kursi yang tadi aku gerek ke dekat jendela, kini aku menetapkan kembali
di depan meja rias.
Ibunda membelai pelan
rambut ku, merogoh laci dan mengulurkan sisir.
“Rambutmu yang ayu
sama seperti parasmu yang elok, sayang... Pangeran tampan akan senang bila
mendapatkan seorang putri seperti mu”
Samar-samar tapi itu
terdengar olehku.
“Maksud ibunda?”
Ibunda tertawa kecil.
“Cepat ganti gaunmu
dan segera tidur.”
Beres sudah urusan
rambut. Diciumnya keningku, lantas pergi.
Aku masih diam
sejanak diatas kursi.. Memandang langit malam dari jendela yang urung ibunda
tutup dengan gorden.
Sesekali melirik
tampak pohon pohon hutan yang lebat disana.
"Aku ingin
sekali pergi keluar.” Lirihku sambil berpangku tangan.
“Hmm.. aku akan
pergi. Aku akan pergi sebentar saja”
Tidak lagi ku
pikirkan soal larangan ayahanda. Sambil berdalih yakin. Berjanji akan segera
kembali ke Langdale.
Tidak ada basa-basi.
Tidak usah berlama-lama lagi, tanpa perlu aku ganti gaun putihku ini. Aku
mengendap-endap menuju pintu luar istana.
“Maafkan hamba, tuan
putri”
Salah satu pengawal
mengagetkan ku dari belakang.
“Paman?”
Gelagapan menjawab
seruan paman pengawal, hanya bisa tersenyum. Berharap lelaki ini tidak
membuyarkan semua niatku.
“Maaf tuan putri,
bukankah ini sudah larut? Mengapa anda masih ada disini? Anda hendak pergi
kemana?”
“E eehh.. tidak
paman! Hanya untuk mencari udara segar saja! Tolong jangan mengikutiku,paman!”
“Tapi saya
mengkhawatirkan keadaan anda”
“Tidak ada yang mesti
dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja”
Raut muka nya kecewa,
Pengawal itu menjauh dari hadapanku
Saat itu juga, aku
berlari sekencang kencangnya menerobos gerbang istana yang masih terbuka.
Aku berjalan menuju
tepi hutan.
Enteng sekali
langkahku. Merasa bangga. Bisa mengelabui paman pengawal.
Tapi lama-lama...
Jalanan yang aku pijak semakin aneh. Serangga entah dari bumi mana berkeliaran.
Langit semakin gelap. Langkahku menjadi pelan. Terasa berat. Rasa takut
menyelimutiku.
Suara desiran angin
kencang yang membuat pohon-pohon seakan berteriak. Merasa semakin takut dan berlari
tidak tentu arah.
“Gleeerrr”
Gemuruh petir
menyambar. Kaget. Sontak aku menutup telinga. Kilat juga menyapaku tidak ramah,
membuat jalanan yang ku tapaki terang sejenak.
Air hujan mulai
turun. Masih ku berlari ketakutan. Tidak peduli aku semakin masuk jauh kedalam
hutan. Akhirnya lelah. Jatuh tersungkur. Lututku berdarah. Tidak bisa berbuat
apa-apa, berhenti sejenak dan bersandar di antara pohon-pohon yang lebat.
Gaun putihku kotor.
Tanah dan air hujan menjadi satu di atasnya.
Sendirian. Hujan dan
petir bersautan. Berharap ayahanda atau siapapun utusan Langdale membawaku
kembali.
Mahkota ku sudah tak
lagi ada di antara rambutku yang basah.
Suara-suara aneh.
Barung hantu atau apa aku tidak tahu terus mengganggu di telingaku.
Lagi lagi dan lagi. Kali
ini di susul dengan suara tapak kaki binatang. Menerobos semak semak di hutan
ini. Mematahkan ranting-ranting kering.
"toloooonggg!!
Siapapun tolong aku"
Tak sanggup aku
berdiri.
"tolooongg!!"
Teringat pesan ayah.
Ayah sepenuhnya benar. Begitupula paman prajurit tadi. Aku hanya menggerutu
padanya. Mengolok-olok nya dalam hati.
Diantara derasnya air
hujan, samar samar ku mendengar suara tapal kaki kuda. Suara itu semakin jelas,
dan dekat.
Aku menjerit lebih
keras lagi. Saat itu juga anak panah melesat menerobos air hujan.
Siapa dia? Yang pasti
bukan ayahanda. Karena ayahanda hanya pandai bergelut dengan pedang. Siapa pemilik anak panah ini?
Selang beberapa detik
kemudian. Keluar laki laki berbadan tegap, lebih tinggi dariku, berjubah hitam
dan busur panah di tangannya. Ia turun dari kudanya lalu berlari mendekati ku.
"Kau
siapa?!"
Berusaha mengenali
dari wajahnya. Rambut setengah kemerahan. Tampan sudah pasti. Dan bisa ku lihat
alisnya yang tebal.
"Aslan. Istana
Ordric"
Sedikit berteriak.
Khawatir suaranya tersekat oleh suara derasnya hujan. Samar- samar aku lihat Dia tersenyum tipis.
"Mengapa kau ada
disini?"
Aslan menyibak
rambutnya yang basah kuyup. Sambil membungkuk mendekatiku. Kali ini aku
benar-benar bisa melihat jelas matanya. Mata cokelat yang menawan.
"Aku ingin
pulang"
Jawabku pendek.
Mengusap wajahku dari air hujan.
"Tersesat
rupanya.."
Aslan menghela napas
sambil terus-terusan menyipitkan matanya yang kemasukan air.
Ia menunjuk nunjuk
dari jauh kemana anak panahnya tadi ia luncurkan.
"Serigala.
Hampir saja dia menerkammu, hampir merobek-robek tubuhmu"
Diam seribu kata aku.
Aslan datang mendekap nyawaku, telah menyelamatkan hidupku.
“Aku melewati
Langdale. Banyak prajurit dan pengawal istana berpencar ke mana-mana. Mereka
mencarimu?”
"Dan ini.. Ini
pasti milik mu"
Aslan menggenggam
erat mahkotaku yang kotor diantara jubahnya. Mengulurkan tangannya. Berlian
merah muda berkedip diantara guyuran hujan.
"ini milikku..
Terimakasih"
Memaksakan untuk
tersenyum padanya meski pandangan ku sekarang berkunang-kunang.
Lututku perih. Air
hujan masih terus mengguyur lukaku itu.
Aslan memandangi ku.
Langsung ia robek jubahnya, membungkus lututku yang cedera.
Tidak ada apa pun
yang keluar dari mulutku. Hanya menahan rasa sakit.
Aslan bersuit. Kuda
nya benar benar mengerti jika dipanggil. Berderap mendekati tuan nya.
"King dan aku
akan membawamu pulang ke Langdale"
Tubuhnya yang rancak
rupawan kembali membungkuk. Menjulurkan
tangannya padaku.
"Cepat sebelum
yang lebih buas datang lagi!"
"Tunggu.. Gaunku
kotor, penuh lumpur, jubahmu akan kotor karenaku"
"Bukan seorang
pangeran sejati jika hanya takut soal tanah dan lumpur".
Aslan menggendong ku
naik ke atas kudanya. Tahu aku banyak bicara dan membual. Buanh buang waktu
saja batin nya. Tapi Ia juga tahu jika aku sudah tak sanggup lagi untuk
berdiri.
King di pacu cepat.
Aslan dan kuda putihnya menantang derasnya hujan.
Tubuhku mengigil,
gemetar.
Saat itu juga, Aslan
membentang jubahnya, menyingkap ke seluruh tubuhku hingga dinginnya angin hujan
tidak seburuk lalu.
“Tenanglah.. Aku bersamamu” tangan kananya memelukku,
satunya lagi mencekam tali kendali kudanya.
King berhenti tepat
di teras Langdale. Semua penghuni istana beraut muka khawatir,cemas, dan takut.
Hanya satu yang ganjil.
Ayahanda tidak ada
bersama mereka.
Hujan juga sudah
pergi. Badanku tak lagi menggigil.
Aslan turun dari
kudanya, membantuku turun juga seraya tangan yang masih menahan badanku yang
lemah kehabisan tenaga.
“salamku, Ratu
Arwend”
Ibunda tergopoh-gopoh
menghampiri, memandang apa yang terjadi pada kami.
“Putriiikuuuu....”
Sontak aku
memalingkan muka. Ayah berseru-seru dari gerbang istana. Menaiki kuda hitamnya
dan kembali bersama paman-paman pengawal. Ayah pergi mencariku, ayah
benar-benar mencemaskanku.
Ayahanda memeluku.
Lantas menatap Aslan sambil tersungging.
"Aslan??"
Aku sama sekali tidak
tahu jika ternyata ayah mengenalnya.
“Bukankah kau putra
raja Fredrick? Kau tinggal di Ordric, bukan?”
“Benar.. Itu hamba,
Baginda”
"Dia
menyelamatkan nyawaku, Ayah! Jangan hukum dia. Dialah yang membawaku kembali ke
Langdale dengan kuda nya ini"
Ayah hanya tersenyum
padaku. Tidak menjawab.
“Terima kasih saja
sepertinya belum cukup untuk membayar apa yang sudah kau lakukan pada putriku”
Ayahanda menatap
Aslan lekat-lekat. Ibunda disampingku, menguatkan tubuhku. Jubah Aslan yang
terlilit padaku ia bentangkan di hadapan kami. Lalu bibi Mala datang membawa
handuk.
“Ini jubahmu,nak?”
Ibunda memotong
percakapan.
“benar, ratu Arwend.
Putri anda mengigil. Maafkan saya, hanya ada jubah itu yang bisa ku kenakan
padanya”
“Aslan... kau sudah
meringkus rasa khawatir kami semua. Katakan apa saja yang kau minta. Mintalah
apapun dari kami”
Sontak Aslan menoleh
pelan, menatapku dan ia tersenyum.
"Dia cocok
untukmu, sayang” bibi Kemala berbisik.
“Kau mencintainya?”
ayah melirik kami berdua. Aslan malu. Pipinya merona, matanya berbinar.
Menyibak rambut dan menutup mulutnya.
Aku hanya ikut
tersenyum. Ingin juga aku tertawa melihat Aslan. Tapi nanti ibunda bisa
menjailiku nanti dikamar.
“akan aku gelar pesta
pernikahan kalian berdua” seruan ayah menggelegar ke seluruh Langdale.
Semuanya tersenyum,
bertepuk tangan.
Antara malu dan
senangnya bukan main aku sekarang.
“Tinggallah bersama
kami semua malam ini. Saat matahari sudah mencuat, kau bisa kembali ke Dakota.
Lalu bawa seluruh keluargamu kemari”. Bibir Ibunda tersimpul.
Meringis aku. Tak
percaya pangeran tampan bagai superhero di film-film akan menikah denganku.
Komentar
Posting Komentar