Langsung ke konten utama

PINGIN JADI NING!

 Pingin jadi Ning!

By: Yasmin Fauziyah Maulidiah XI IBB

(Orientasi)

    Adzan maghrib berkumandang. Tampak seluruh santriwati terburu-buru membersihkan piketan masing-masing karena… BELUM MAKAN! Asrama putri begitu ribut. Dua-tiga santriwati piket dapur membawa lauk-pauk ke Aula utama asrama putri disusul tiga santriwati lain yang sibuk menarik gerobak berisi tungku besar berisi nasi untuk di letakkan di aula utama.

    Para santriwati memasuki aula dengan tertib namun penuh suara pst-pst-pst, bisik-bisik rumpi tetangga. Mereka duduk berjajar dilantai dengan lembaran kertas minyak yang berjajar panjang mengitari aula, di atasnya terdapat nasi yang masih mengepulkan uap, panas.

    Santriwati senior berteriak menertibkan santri yang lain, juga membagikan lauk secara merata diatas nasi. Usai membagikan lauk  para santri senior ikut bergabung di tempat yang tersisa. Sebelum makan seorang santri senior memimpin doa, seusai doa, semua santriwati serempak mengucap ‘Amiin!’ dan langsung melahap makanan didepannya hingga tandas.

    Aula begitu ramai dengan si pelawak yang tak ada habis candaannya. Pun gosip-gosip terdengar disana. Tawa mereka memenuhi aula.

    “Mbak-mbak! Ayo ndang di selesaikan makannya, ndang jama’ah!”

    “Nggeh, mbak!”

    Usai makan seluruh santri turut membersihkan aula. Menyapu, mengepel, membuang sampah, hingga mencuci peralatan masak, seperti panci, baskom ataupun tungku besar. Setelah memastikan aula bersih seluruh santriwati kembali ke kamar masing-masing bersiap jama’ah maghrib di masjid utama gabung dengan santri putra.

    Sholat maghrib di imami oleh Pak Kyai, jika Pak Kyai berhalangan untuk mengimami biasanya digantikan oleh Gus –Menantu Pak Kyai dan Bu Nyai- usai sholat dilanjut wirid dan do’a.

    Saat hendak meninggalkan tempat tiba-tiba Bu Nyai datang hendak menyampaikan sesuatu. Dari salah satu barisan putri terdapat satu santriwati yang menggerutu pelan dengan wajah cemberut.

    “Haduhhh! Ummik ini, aku sek ada tugas hafalan lhoo ini!” Gumamnya.

    “Sabar ae, palingan gak suwe kok.” Teman disampingnya menenangkan.

    “Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.”

    “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh!”

    Masjid lengang, seluruh santri menunggu apa yang akan disampaikan Bu Nyai mereka. Bu Nyai duduk dengan takzimnya di sebelah Pak Kyai menatap para santrinya dengan mic ditangan.

    “Di sini mas-mas yang saget bawa motor sinten nggeh?” Tanya Bu Nyai. Walau dilanda rasa bingung santri putra yang bisa mengendarai motor mengangkat tangannya. Tapi tidak dengan Yasmin –Santri yang cemberut tadi-, ia tidak mengangkat tangannya, karna selain dia santriwati, ia juga memang tidak dapat mengendarai motor. Ia terheran-heran, random sekali Bu Nyai nya bertanya begitu. Ia hanya menghelah nafas. Bete rasanya, sudah jemuran basah lagi karna kehujanan deras sepanjang siang, belum lagi hafalan Qurdistnya yang belum selesai. Malas rasanya jika ia harus mendengar omelan Ustadz Hafidz.

       Haduhhh…!

    “Tadi kacamata Ning Nabila jatuh saat perjalanan pulang dari beli bakso sum-sum di jalan Adipati.     Hanya lensa sebelahnya saja yang jatuh waktu ning mau masukin ke saku. Tolong ikhlasnya ya nak cariin lensanya Ning Nabila. Tolong coba cari disekitar warungnya. Hujan udah reda dari tadi harusnya airnya sudah surut, jika masih rezeki insyaallah ketemu. Menawi mboten kepanggeh nggeh mboten nopo o. Monggo tiga motor pondok dipakai.”

    Yasmin menatap tak percaya Bu Nyai nya. ‘Seriously?!’ Ia speechless dengan perkataan Bu Nyai nya, menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

    “Keren ya, lensa kacamata hilang santrinya suruh nyari,” Bisiknya pada teman sebelahnya.

    “Hu’uh, padahal kacamata Ning Nabila lho akeh, uapik-apik.” Komentar temannya yang lalu dibalas anggukan. Yasmin pun mengajak Mira –Adik kelas sekaligus sahabatnya- kembali ke kamar. Selama perjalanan ke kamar mereka mengobrol ringan. Topiknya tak jauh-jauh dari kejadian tadi. Saat akan memasuki wilayah asrama putri mereka malihat enam santri putra yang mengendarai tiga sepeda motor pondok saling berboncengan semakin menambah topic panas mereka.

    “Mhm… pengen gak seh koyok ngono. Aku pengen…!” Yasmin berjingkrak-jingkrak iri. “Aku yo pengen ngerasakno koyok ngono. Bayangno awakmu hamil terus ngidam pecel dek alun-alun Malang, seng tuku kudu enam santri. Kan seru!” Ucap Yasmin penuh khayal bahagia. Mira disampingnya hanya menatap datar. 

    “Sak karepe samean wes mbak.” 

    “Duh Mir! Kamu itu gak ngerti perasaanku! Huhuhu..! MAK..! PENGEN JADI NING!!!” 

___**___

(Komplikasi)

    Ini Lima tahun sejak hari itu. Ia malu jika mengingatnya. Tatapan yang diberikan para santri maupun santriwati yang melihatnya berhasil membuatnya ingin mengubur diri di inti bumi. Saat ini ia mengabdi di pesantrennya sebagai pengajar Nahwu-Shorof sekaligus mahasiswa semester akhir jurusan sastra Inggris di universitas Negeri Malang (UM)

    Kejadian memalukan itu terjadi saat dirinya berusia enam belas tahun, kelas sebelas Aliyah, masa-masa Jahiliyah nya. 

    Biasanya ia berangkat jam enam pagi dari pesantren dan kembali menjelang maghrib. Selepas jamaah ia akan mengajar Nahwu-Shorof untuk semua kelas bergantian setiap harinya, menggantikan ustadz Soleh yang sudah sepuh. 

    “Cuapek polll!” Setibanya di kamar Alumni Yasmin merebahkan dirinya diatas kasur lantai, ia masih mengenakan baju kuliahnya lengkap dengan Almamater UM. Di masjid pondok masih qiroah, belum Adzan. Ia berniat tidur sejenak sebelum Adzan Maghrib berkumandang. Baru saja ia memejamkan matanya pintu kamar tiba-tiba digedor keras. Yasmin tersentak dibuatnya. 

    “Mbak!..Mbak Yasmin!!..Mbak!...BUKA MBAK!!..MBAKK!!!..”

    Yasmin berdecak jengkel dibuatnya dengan malas ia berdiri dari kasur berjalan mendekati pintu dan membukanya dengan sebal. Ia menatap dua satriwati yang tampak terubu-buru berdiri didepan pintunya. 

    “Kenapa?”

    “Sampean di panggil Abah-Ummik nanti habis maghrib.”

    “Hah? Aku?” Ia menunjuk diri sendiri. Dua anak itu mengangguk cepat. “Yaudah ya mbak, sudah mau maghrib, belum bebersih.” 

    Yasmin menatap datar dua santri itu, “Yasudah sana, Makasih ya.” Dua santri itu ngacir ke arah kamar mereka.

    Yasmin kembali menutup pintu kamarnya dan kembali merebahkan diri diatas kasur. Ia menenggelamkan wajahnya diatas bantal, “Haaah…Lelahnya…” Yasmin membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Ia berfikir

    “Abah sama Ummik ngapain ya manggil.” Entah kenapa setelah mendengar kabar tersebut Yasmin tak merasa mengantuk sedikit pun.

___**___

    Jama’ah Maghrib telah selesai didala kamar Yasmin berbenah diri mengundang keheranan antar Alumni lainnya. “Ci, Nangdi?” Tanya Fahzla, kakak kelas Yasmin saat di MA.

    “Ditimbali Abah-Ummik Mbak.”

    “Lapo?” Tanya Iffah, yang juga kakak kelas Yasmin saat MA.

    “Semangat ,Mbak Min!” Seru Mira menyemangati tanpa menoleh, anak itu sibuk dengan ML nya.

    “Apane seng semangat?” Balas Yasmin dengan ekspresi datar. Setelah perdebatan dengan Mira, ia pamit ke ndalem. Yasmin berdiri dengan panik didepan pintu ndalem,ia gugup. Ia menarik nafas sedalam mungkin saking dalamnya hingga ia tersedak.

    Uhuk!

    Uhuk!

    Uhuk!

    “Mbak, sampean rapopo ta?”

    Yasmin hampir saja menjerit saat muncul seseorang dari belakangnya, ia menoleh mendapati sosok berperawakan tinggi dengan garis wajah dewasa yang memiliki wajah damai dengan senyum yang selalu terpatri di wajahnya “Ma-Mas Fauzan?”.

    Senyum Fauzan semakin mengembang,ia berdiri tegap menghadap Yasmin dengan kedua tangan dibelakang badan. Sarung coklat bercorak wayang di belakang,baju kukuh berwarna krem dan peci hitam.

       “Mas Fauzan ngapain disini?”

    “Aku ada perlu sama Abah-Ummik, Mbak sendiri ngapain disini?”

    “Ditimbali Abah-Ummik, Mas.”

    Fauzan hanya mengangguk. PIntu ndalem terbuka Ummik tampak berdiri disana menggunakan Gamis dan kerudung biru langitnya. Ummik terkejut melihat mereka berdua. 

    “Ya Allah nak! Ngapain berdiri disitu? Kenapa nggak masuk? Ayo masuk.” Ummik masuk kemudian, tanpa menutup pintu. Yasmin dan Fauzan saling pandang dan masuk ke ndalem bersama. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, menunggu Ummik yang masih memanggil Abah didapur.

    Yasmin memainkan jarinya, sesekali menghelah nafas. Ia sudah lama tidak dipanggil ke ndalem. Biasanya orang ndalem akan menge-chat nya jika ingin menyampaikan sesuatu. Terakhir ia duduk disini saat ummik memberitahunya untuk menggantikan Ustadz Soleh Mengajar Nahwu jilid maupun Fathul Qorib.

    Ummik datang disusul Abah di belakang. Abah dan Ummik duduk didepan Yasmin-Fauzan.”Aduh, Maaf nggeh, lama.”

    “Mboten, Mik.” Yasmin menjawab dengan cengiran dan Fauzan tersenyum seperti biasa.

    “Jadi gimana Fauzan? Jadi?” 

    “Jadi Ummik.” Fauzan menjawab mantap

       “Sudah yakin? Gimana Istikhoroh nya?”

    “Saya yakin bah, Alhamdulillah asilnya bagus.”

    Yasmin menatap tiga orang tersebut bergantian seperti orang bodoh. Ia tak paham. Lagi pula untuk apa sebenarnya dia disini? Abah tadi bilang apa? Istikhoroh? Mas Fauzan Istikhoroh untuk apa?

    ‘Mas Fauzan mau ngelamar orang kali ya.’

    “Jadi gimana Yasmin?” Abah tiba-tiba bertanya, Yasmin tersentak hingga keluar dari lamunannya ia menatap Abah dengan wajah bodoh nya.

    “Ya Abah? Kenapa?”

    Abah menggeleng melihat respon Yasmin,”Jadi Yasmin gimana?”

    Yasmin masih tidak paham dengan maksud Abah, ”Nopone nggeh Bah?” Tanyanya dengan cengiran tanpa dosa, melihatnya membuat Abah menghela nafas sedangkan Ummik disampingnya terkikik geli.

    “Kamu itu paham ndak sih kenapa dipanggil kesini?”

    Yasmin menggeleng polos, “Mboten.”

    “Kamu dipanggil kesini karna Fauzan mau ngelamar kamu.”

    JEDER!

    Bagaikan tersambar petir di siang hari, Yasmin kaget bukan main. Mulutnya menganga matanya melotot. Fauzan melamarnya? Apa tidak salah?

    “Kemarin Fauzan datang ke Abah minta izin ngelamar kamu, Abah nyuru dia mikir-mikir dulu. Yakin apa enggak, terus istikhoroh. Nikah itu bukan perkara main-main apalagi ragu-ragu, dan Abah itu ngeman-ngeman kamu nduk. Kamu itu santri abah, anak abah. Tadi kamu denger sendiri kan. Fauzan sudah yakin, istikhorohnya bagus. Tinggal kamunya gimana. Terima apa enggak?”

    Yasmin masih melongo tak percaya. Ia menoleh menatap Fauzan yang masih tersenyum hangat seolah tak terjadi masalah besar.

    “Ukhti Yasmin?” Panggil Abah.

    “Eh! Enggeh, iya! Iya, bah!” Yasmin reflek menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia tak menyangka dirinya akan berkata begitu. Disisi lain Abah, Ummik dan Fauzan menyatakan rasa syukur mereka atas jawaban yang Yasmin berikan. Abah dan Ummik member selamat kepada Fauzan mengabaikan Yasmin yang masih syok dengan keadaan.

    ‘Sebenarnya apa yang terjadi?’

___**___

    Yasmin dan Fauzan akan menikah 5 bulan setelah kelulusan Yasmin. Dengan sisa waktu yang diberikan sebelum hari H mereka mencoba untuk mengenal satu sama lain. Yasmin pun mulai menerima kenyataan ia akan menikah dengan Fauzan.

    Kalian tahu siapa Fauzan? Muhammad Fauzan Al Akbar? Ia adala putra bungsu dari pasangan Kyai Fatih dan Nyai Nafi. Dua kakak perempuannya telah menikah dan ikut suami mereka, ia penerus pondok besar salaf modern Al Akbar di Malang. Ia di pondokkan di Al Husein sejak kelas 7 MTs. Di pondok ini pula ia bertemu dengan Yasmin Jihana Fitri, sosok santri biasa yang begitu periang dan selalu bersemangat.

    Selain menerima fakta akan menikah dengan Fauzan Yasmin harus menerima fakta bahwa ia akan menjadi seorang Ning di pondok besar. Bagaimanapun Fauzan adalah Gus.

    Setelah menikah Fauzan memboyong Yasmin ke Al Akbar, disana ia mudah beradaptasi dan begitu disukai oleh para santrinya karna ia adalah orang yang supel, mudah bergaul, asik dan memiliki selera humor yang bagus. Disana ia juga mengajar Nahwu jilid untuk kelas Ula, Fathul Qorib untuk Wustho dan Fathul Mu’in untuk kelas Ulya.

    Saat dimana semua gedung pondok telah gelap, berbeda dengan kediaman Gus dan Ning mereka yang baru saja setahun menikah dengan sang Ning yang saat ini sedang hamil besar dan dalam mode ngidam.

    “Dek, sekarang udah malem. Besok mawon, nggeh?” Gus mereka, Fauzan. Saat ini sedang dilanda kebingungan karna istrinya yang sedang ngidam kekeuh akan keinginanya. 

    “Tapi aku pingin banget lho mas…!” Istrinya, Yasmin terus menghentakkan kakinya ngotot dengan wajah seperti akan menangis. Sebenarnya Fauzan tak mempermasalahkan ngidamnya sang istri, sang istri hanya meminta pecel di warung pak Adi dekat alun-alun malang, ia bisa akapan saja membelinya. Namun yang menjadi masalah Yasmin ingin 10 santri yang membeli pecel tersebut di jam 10 malam ini.

    “Mas ayo, beliin pecelnya!” Yasmin terus merengek dengan menarik-narik lengan baju Fauzan.

    “Iya, tapi aku aja yang beli.”

    “Emoh, pokok e aku gelem e golongan e Bandi seng tuku! Titik!”

    Fauzan menghelah nafas, mau tak mau ia harus menuruti kemauan istrinya. “Injih Ndorohh…”

    Malang semakin malam, malam semakin dingin, namun meski begitu tak menurunkan para santri untuk membelikan pecel untuk Ning tercinta mereka. Dinginnya malam pun mereka terobos demi sebungkus pecel pak Adi dekat alun-alun. 10 santri itu sampai setelah 20 menit perjalanan, mereka pun memesan.

    “Pak pecel pake telor satu!” Ucap serempak para santri pada pak Adi.

    “Peuh, iki maksud e piye? Masing-masing siji ta piye?” Ucap pak Adi bingung.

    “Mboten pak, kita beli satu.” Ucap salah seorang.

    “Satu bungkus? Okeh, tunggu ya!”

    Tangan pak Adi bergerak lihai meracik nasi pecel. Dari nasi, sayuran, tempe, telur ceplok lalu bumbu kacang ditambah rempeyek. Sembari menunggu nasi pecelnya dibuat, 10 santri itu bersholawat bersama ditambah tabuhan meja dan tepuk tangan. Warung pak Adi ramai seketika. Bahkan pak Adi ikut bersenandung sembari membungkus nasi pecel.

    “Nih, sudah.” Kata pak Adi menyerahkan bungkusan pecel pada salah seorang santri, santri lainnya member pak Adi uang.

    “Pak ayo photo dulu! Dokumentasi buat Gus!”

    “Eh?”

    Dua santri menarik pak Adi untuk berdiri diantara mereka , berpose. Bandi, ketua golongan itu berdiri didepan mengangkat hp pondok terbalik, foto 0,5.

    “Say ‘Chese’!”

    CHESEE!

___**___

    Kling!

    Satu notifikasi terdengar dari handphone Fauzan, ia mengeluarkan handphonenya mengecek pesan masuk, Yasmin hanya melirik. Pesan dari Bandi, sebuah foto. Fauzan membukanya, Yasmin ikut melihatnya. Sedetik kemudian perempuan itu tertawa hingga terpingkal-pingkal di tempat, Fauzan tersenyum dengan mengusap wajahnya. Ia tidak habis fikir dengan santri-santrinya.

    Pesan itu berupa foto Bandi yang mana dibelakangnya terdapat teman-temannya yang merangkul pak Adi dengan keresek bening berisi bungkusan kertas minyak yang diduga oleh Fauzan nasi pecel.

    “Mas! Mereka lucu ya!”

    “Mereka kayak gitu tuh cuma buat ning nya.”

___**___

(Reorientasi)

    Setelah nasi pecel itu sampai, Fauzan membiarkan Yasmin duduk di ruang makan sedangkan ia mengambil piring dan alat makan untuk Yasmin. Fauzan meletakkan piring tersebut didepan Yasmin dan perempuan itu mengeluarkan pecel dari bungkusnya lalu meletakkannya diatas piring dan membukanya. Yasmin menikmati memakan pecel tersebut, matanya berseri-seri bahagia.

    “Enak?” Tanya Fauzan yang dibalas anggukan antusias dari Yasmin. Yasmin senang, Fauzan senang.

    “Sek pingin jadi Ning?” Yasmin reflek menghentikan makannya menatap cemberut ke arah Fauzan.

   “Maksud e lho…?” Fauzan terkikik geli. Dengan cemberut Yasmin melanjutkan makanya, hingga teringat pertanyaan yang selalu menghantuinya.

    “Mas, kenapa sampean milih aku? Kok isok kepikiran aku ngunu loh.”

    Fauzan menatap Yasmin sejenak sebelum menjawab, “Kamu inget ndak sekitar 6-7 tahun saat ning nabila kehilangan lensanya terus 6 santri suruh nyari, aku salah satu snatri itu. Pas lewat pondok putri aku dan temen-temenku denger ada yang teriak pingin jadi Ning. Dari sana aku tertarik untuk mencari, eh, ternyata kamu. Awalnya iseng kepoin, malah jatuh cinta. Udah tamat.” Yasmin melongo mendengarnya, ia hampir menjatuhkan sendoknya. Ia kemudian tersenyum pada Fauzan. Jujur ia tak menyangka Fauzan akan ada saat itu. Malu juga sebenarnya, tapi jika tak ada kejadian itu ai dan Fauzan takkan bersatu. Ia patut bersyukur.

    “Sebenarnya aku sendiri gak nyangka ucapan isengku waktu itu bakalan jadi kenyataan.”

    “Itulah kekuatan perkataan, perkataan adalah doa. Ucapan iseng aja dikabulin apalagi doa sungguh-sunggu. Maka dari itu kita harus berhati-hati saat berucap. Fahimtum, ya zaujati?”

    “Fahimna, ya zauji.”

-END-

NP    : Lanjut ke novel ;)

Kaidah kebahasaan

1. Kalimat Lampau: Usai makan, 5 tahun setelah hari itu, setelah menikah.

2. Konjungsi: Dan, yang, maka,kemudian, lalu, tapi, dengan, setelah, bahkan dll.

3. Kata kerja: Mengangkat, menjatuhkan, membersihkan, mengendarai, makan dll.

4. Kata sifat: Azan maghrib berkumandang, Malang semakin malam, malam semakindingin dll.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL " ALVASKA "

Nama : Lailatul Hikmah Kelas XI IBB RESENSI NOVEL " ALVASKA " Judul Buku : Alvaska Penulis : Matcharay Penerbit : Coconut Books Depok, Jawa Barat Tahun : 2021 Jumlah halaman : 396 halaman Sukses menjadi penulis cerita di aplikasi Wattpad, kini Matcharay menerbitkan buku pertamanya "Alvaska" dengan genre fiksi yang diakses oleh 22 juta pembaca pada aplikasi. novel digital tersebut. Sebuah novel yang berhasil menarik pembaca terutama di kalangan remaja, membuat karya ini berhasil diterbitkan oleh penerbit Coconut Books yang dicetak pertama kali pada tahun 2021. Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara Alvaska dan Kana. Alvaska seorang laki-laki yang memiliki kelainan penyakit jantung sejak lahir berkeinginan untuk menyerah menjalani hidupnya karena sering menjadi perbandingan dengan sang adik. Alvaska juga sering kali menjadi sasaran dari kemarahan sang ayah tanpa alasan yang jelas. Namun ketika ia bertemu dengan seorang perempuan di tengah gelap dan derasnya huj...

RESENSI NOVEL " SANTRI PILIHAN BUNDA "

Nama : Nazilatul Mu'azah Kelas : XI IBB RESENSI NOVEL " SANTRI PILIHAN BUNDA " Judul Novel : Santri Pilihan Bunda Penulis : Salsyabila Falensia Jumlah halaman : 320 Halaman Ukuran buku : 14×20,5 cm Penerbit : Cloudsbooks Publishing Kategori :  Fiksi Tahun Terbit : 2021 Novel Santri Pilihan Bunda – Beberapa tahun belakangan Wattpad cukup mampu menghimpun banyak penulis berbakat dengan cerita-cerita menarik. Salah satunya adalah karya dari Salsyabila Falensia Agustia ini yang belum lama dirampungkan menjadi sebuah buku novel dengan judul Santri Pilihan Bunda. Pemilik akun wattpad dengan username @secretwriter ini mampu membawa novel karangannya ini menjadi best seller. Novel Santri Pilihan Bunda mengangkat percintaaan sebagai tema besarnya. Dengan dibalut nuansa Islami, penulis yang lebih akrab dipanggil Acha ini mampu menyuguhkan kisah cinta yang tak hanya penuh letupan-letupan emosi tapi juga sarat akan nilai-nilai kehidupan. Boleh jadi hal ini jugalah yang membuat cerita...

RESENSI NOVEL “SI ANAK PEMBERANI”

  Nama : Labibatun Nisa’ Kelas : XI IBB   RESENSI NOVEL “SI ANAK PEMBERANI” Identitas Buku  Judul Buku : Si Anak Pemberani                   Penulis        : Tere Liye Penerbit      : PT Sabak Grip Nusantara Tahun Terbit : 2023 Cetakan      : 6 Jumlah Halaman : 435 halaman ISBN : 978-623-96074-0-1      Novel Si Anak Pemberani bertemakan persahabatan dan kekeluargaan. Novel ini sangatlah seru jika mengikuti sampai akhir karena menghadirkan kisah kisah untuk membela keadilan. Novel yang ditulis oleh   Tere Liye, adalah nama pena yang digunakan oleh penulis bernama asli Darwis yang lahir di Kota Lahat, Sumatera Selatan, pada tanggal 21 Mei 1979. Ia memutuskan untuk menggunakan nama tersebut karena terinspirasi dari lagu India. Dari puluhan buku Tere Liye, serial ini adalah mahkotanya.           ...